Jumat, 23 April 2010

Pijat Bayi Rangsang Kecerdasan Anak

Tercapainya pertumbuhan dan perkembangan optimal pada anak merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Faktor itu adalah genetik, lingkungan, perilaku dan rangsangan atau stimulus.

Khusus pada stimulus, pemberian stimulasi teratur dan terus-menerus akan menciptakan anak cerdas, tumbuh kembang dengan optimal, mandiri serta memiliki emosi yang stabil dan mudah beradaptasi.

Salah satu bentuk stimulasi pada anak yang sering dilakukan masyarakat adalah pijat bayi. Pijat bayi adalah terapi sentuh tertua dan terpopuler yang dikenal manusia. Pijat bayi telah lama dilakukan hampir di seluruh dunia termasuk di Indonesia dan telah diwariskan secara turun temurun.

Pijat bayi, kata Noor, dilakukan tidak seperti pijat untuk orang dewasa, tetapi lebih banyak menekankan pada sentuhan. Karena itu pijat bayi biasa disebut dengan stimulus touch.

Noor menambahkan bahwa pijatan pada bayi ini tidak sekedar memberi efek rileks dan membantu memperlancar peredaran darah pada bayi, tetapi juga menjadi salah satu cara untuk memberi stimulus pada perkembangan seluruh indra bayi, meningkatkan berat badan dan meningkatkan pertumbuhan.

"Pemijatan dilakukan dalam suasana nyaman dan merupakan bagian dari parenting, bukan pengobatan," tambah Noor.

Noor menambahkan bahwa ilmu kesehatan modern telah membuktikan secara ilmiah bahwa terapi sentuhan dan pijat pada bayi mempunyai banyak manfaat terutama bila dilakukan sendiri oleh orang tua bayi.

Milad Hri Jadi RA Salman Ke 25

Hadiri acara Milad Ke 25 RA Salman yang akan diselenggarakan pada hari Sabtu tanggal 24 april 2010 yang bertempat di RA Salman yang akan diisi oleh pementasan dari siswa siswi RA Salman

Acara ini juga akan menampilkan drumband dari siswa RA Salman serta talkshow dengan tema lindungi buah hari dari demam berdara.

Lindungi Buah Hati Dari Demam Berdarah

Datang dan ikuti Talkshow Interaktif Bersama dr Yati dengan tema

Lindungi Buah Hati Dari Demam Berdarah

Hari : Sabtu 24 April 2010

Pukul : 09.00 s/d 10.00

Tempat : Halaman TK Salman

Acara ini terselenggara kerja sama TK Salman dan CV Satria Pratama

Selasa, 20 April 2010

Siswa RA Salman Beraksi Di depan Kamera

Siswa Berpose Sebelum Pentas

Kegiatan Belajar Mengajar Ra Salman



Beberapa Model Pendidikan TK Atraktif

Dalam tulisan ini, akan dikemukakan 2 contoh model pendidikan TK atraktif, yaitu Pengajaran Suara, Bentuk dan Bilangan dan Sistem PengajaranSentra.

1. Pengajaran Suara, Bentuk, dan Bilangan

Konsep pengajaran suara, bentuk dan bilangan berawal dari konsep dasar yang dikemukakan oleh John Heindrich Pestalozzi. Walaupun Pestalozzi hidup pada abad 16, tapi pandangan dan konsep-konsepnya banyak yang menjadi kerangka dasar para pemikir pendidikan anak untuk Taman Kanak-kanak di abad sekarang. Salah satu karyanya berjudul “Die Methoden” yang mengupas tentang metodologi pembelajaran dalam beberapa bidang pelajaran. Salah satu pandangannya yang sangat relevan dalam pendidikan untuk TK atrakfif adalah konsep pembelajaran yang menekankan pada suara, behtuk dan bilangan. Konsep ini sangat dekat dengan pengembangan potensi anak pada dimensi auditori, visual dan memori yang tepat digunakan bagi perkembangan anak TK.

Pandangan Dasar tentang Pendidikan

Pestalozzi mempunyai pandangan bahwa pendidikan bukanlah upaya menimbun pengetahuan pada anak didik. Atas dasar pandangan ini, ia menentang pengajaran yang “verbalists”. Pandangan ini melandasi pemikirannya bahwa pendidikan pada hakikatnya usaha pertolongan (bantuan) pada anak agar anakmampu menolong dirinya sendiri yang dikenal dengan “Hilfe Zur Selfbsthilfe“.

Dilihat dari konsepsi tujuan pendidikan, Pestolozzi sangat menekankan pengembangan aspek sosial pada anak sehingga anak dapat melakukan adaptasi dengan lingkungan sosialnya serta mampu menjadi anggota masyarakat yang berguna. Pendidikan sosial ini akan berkembang jika dimulai dari pendidikan ketuarga yang baik. A Malik Fajar dalam opininya tentang Renungan Hardiknas tanggal 2 Mei 2001 sangat mendukung gagasan untuk menghidupkan kembali pendidikan berbasis masyarakat (community base education) dan menjadikannya sebagai paradjgma barn sekaligus model yang patut ditindaklanjuti.

Pada kenyataannya baik pendidikan maupun sistem dan model-model kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat mencerminkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Jadi menurutnya pendidikan berbasis masyarakat akan memperkuat posisi dan peran pendidikan sebuah model sosial. Ada 3 prinsip yang menjadi dasar pendidikan ini, yaitu sebagai berikut.

  • Pendidikan TK menekankan pada pengamatan alam. Semua pengetahuan bersumber pada pengamatan.- Pengamatan seorang anak pada sesuatu akan menimbulkan pengertian. Pengertian yang baru akan bergabung dengan pengertian lama dan membentuk pengetahuan. Selain itu Pestolozzi juga menganjurkan . pendidikan kembali ke alam (back to nature), atau sekolah alam. Inti utamanya adalah mengajak anak melakukan pengamatan pada sumber belajar di lingkungan sekitar.
  • Menumbuhkan keaktifan jiwa raga anak. Melalui keaktifan anak maka ia akan mampu mengolah kesan pengamatan menjadi pengetahuan. Keaktifan juga akan mendorong anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga merupakan pengalaman langsung dengan lingkungan. Pengalaman interaksi ini akan menimbulkan pengertian tentang lingkungan dan selanjutnya akan menjadi pengetahuan baru. Inilah pemikiran Pestolozzi yang banyak menjadi topik perbincangan yang disebut belajar aktif (active learning).
  • Pembelajaran pada anak harus berjalan secara teratur setingkat demi setingkat atau bertahap. Prinsip ini sangat cocok dengan kodrat anak yang tumbuh dan berkembang secara bertahap. Pandangan dasar tersebut membawa konsekuensi bahwa bahan pengembangan yang diberikan harus disusun secara bertahap, dimulai dari bahan termudah sampai tersulit, dari bahan pengembangan yang sederhana sampai yang terkompleks.

Konsep Pendidikan Atraktif dari Pestolozzi

Ciri khas pandangan Pestalozzi mengenai proses pendidikan TK atrakfif yaitu melalui adanya pengajaran suara, bentuk dan bilangan. Semua bidang pengembangan yang diajarkan pada anak dikelompokkan dalam 3 kategori sebagai berikut.

  • Konsep suara mencakup bahan pengembangan bahasa, pengetahuan sejarah dan pengetahuan bumi.
  • Konsep bentuk mencakup pengetahuan bangun, menggambar dan menulis.
  • Konsep bilangan mencakup semua aspek yang berkaitan dengan berhitung.

Ketiga konsep di atas dapat melalui pengembangan AVM (Auditory Visual Memory). Melalui pengembangan AVM ini fungsi sel-sel syaraf akan berkembang dan selanjutnya akan dapat mengembangkan potensi-potensi lainnya seperti imajinasi, kreativitas, intelegensi, bakat, minat anak, misalnya dalam kelompok pengembangan auditori (bahasa), pengembangan perbendaharaan kosa kata anak dan kemampuan berkomunikasi harus mendapat perhatian intensif. Perbendaharaan kosakata akan menyentuh atau mempengaruhi dimensi potensi lainnya. Kemampuan anak berkomunikasi tergantung pada penguasaan kosakata anak.Dalam pelaksanaannya, pengembangan AVM dilaksanakan secara terpadu (intergrated). Kegiatan yang menggunakan metode percakapan dan bercerita, akan merupakan metode yang efektif dalam pengembangan AVM di TK.Sebagai contoh: memperkenalkan wama merah, bentuk bulat, rasa manis pada “Apel” merupakan salah satu model intergrated dalam pengembangan AVM.

  • Melalui gambar : anak diperkenalkan dengan pengertian “Apel”.
  • Melalui kosakata :anak mengucapkan kata “apel”.
  • Melalui bentuk :anak mengenal bentuk bulat.
  • Melalui bilangan :anak menghitung jumlahnya1, 2, 3 dan seterusnya.

2. Sistem Pengajaran Sentra

Model pendidikan ini, menitik beratkan pada pandangan seorang ahli pendidikan, Helen Parkhust yang lahir tahun 1807 di Amerika. Pandangannya adalah kegiatan pengajaran harus disesuaikan dengan sifat dan keadaan individu yang mempunyai tempat dan irama perkembangan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap anak akan maju dan berkembang sesuai dengan kapasitas kemampuannya masing-masing. Walaupun demikian kegiatan pengajaran harus memberikan kemungkinan kepada murid untuk berinteraksi, bersosialisasi dan bekerja sama dengan murid lain dalam mengerjakan tugas tertentu secara mandiri. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa Helen Parkhust tidak hanya mementingkan aspek individu, tapi juga aspek sosial.Untuk itu bentuk pengajaran ini merupakan keterpaduan antara bentuk klasikal dan bentuk individual. Sebagai gambaran pelaksanaan model ini, dapat diungkapkan sebagai berikut.

a) Ruangan kelas

Ruangan kelas dapat dimodifikasi menjadi kelas-kelas kecil, yang disebut ruangan vak atau sentra-sentra. Setiap ruangan vak atau sentra. terdiri atas satu bidang pengembangan. Ada sentra bahasa, sentra daya pikir, sentra daya cipta, sentra agama, sentra seni, sentra kemampuan motorik. Contohnya pada sentra bahasa terdapat bahan, alat-alat, serta sumber belajar seperti tape recorder, alat pendengar, kaset, alat peraga, gambar, dan sebagainya.

Pada sentra daya pikir berisi bahan-bahan ajar seperti alat mengukur, manik-manik, lidi untuk menghitung, gambar-gambar, alat-alat geometris, alat-alat laboratorium atau majalah pengetahuan. Demikian pula pada sentra khusus seperti sentra balok, sentra air, sentra musik atau sentra bak pasir.

b) Guru

Setiap guru harus mencintai dan menguasai bidang pengembangan masing-masing. Guru harus memberi penjelasan secara umum kepada murid-murid yang mengunjungi sentranya sesuai dengan tema yang dipelajari. Memberi pengarahan, mengawasi dan mempematikan murid-murid ketika menggunakan alat-alat sesuai dengan materi yang dipelajarinya. .Selanjutnya menanyakan kesulitan yang dialami murid-murid dalam mengerjakan materi tersebut. Selain dari itu guru sentra harus menguasai perkembangan setiap murid dalam mengerjakan berbagai tugas s’ehingga dapat mengikuti tempo dan irama perkembangan setiap murid dalam menguasai bahan-bahan pengajaran atau tugas perkembangannya.

c) Bahan dan Tugas

Bahan pengajaran setiap sentra terdiri dari bahan minimal dan bahan tambahan. Bahan minimal yaitu bahan pengajaran yang berisi uraian perkembangan kemampuan minimal yang harus dikuasai setiap anak sesuai tingkat usianya. Bahan ini harus dikuasai anak dan merupakan target kemampuan minimal dalam mempeiajari setiap sentra tertentu.

Bila anak sudah menguasai bahan pengajaran minimal, dapat memperoleh bahan pengajaran tambahan, yang merupakan pengembangan atau pengayaan dari pengajaran minimal. Pengayaan ini diberikan bisa secara individu maupun kelompok pada anak yang menguasai bahan minimal pada satuan waktu yang relatif sama. Bahan pengayaan ini tentu saja disesuaikan dengan kondisi lingkungan, dengan demikian anak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan sesuai dengan kenyataan dengan penuh tanggungjawab.

Bahan setiap sentra hendaknya terintegrasi dengan sentra lainnya. Di bawah ini merupakan contoh adanya integrasi antar sentra bidang pengembangan.

Tema : Tanaman

Sentra bahasa: Dramatisasi “Fun Cooking”
Sentra musik: bernyanyi menanam jagung
Sentra Aritmatika: belanja dan menghitung sayur-sayuran
Sentra air: memelihara dan merawat tanaman

d) Murid dan Tugasnya

Setiap murid akan mendapat tugas dan penjelasan secara klasikal. Masing-masing murid dapat memilih sentra yang akan diikutinya. la bebas menentukan waktu dan menggunakan alat-alat untuk menyelesaikan tugasnya. Setiap murid tidak boleh mengerjakan tugas lain sebelum tugas yang dikerjakannya selesai.Untuk mengembangkan sosiobilitas, murid boleh mengerjakan tugas tertentu bersama-sama. Dengan cara ini murid akan mempunyai kesempatan bersosialisasi, bekerja sama, tolong menolong satu dengan lainnya. Murid yang dapat menyelesaikan suatu tugas atau sudah menguasai bahan minimal, ia dapat meminta tugas tambahan dengan memilih kegiatan lain yang digemarinya. Agar perbedaan setiap murid tidak terlalu jauh, guru dapat menetapkan bahan maksimal pada setiap pokok bahasan. Bila murid tidak dapat menyelesaikannya di sekolah, karena suatu hal, maka guru dapat memberi izin untuk menyelesaikannya di rumah.

e) Penilaian Kemajuan Murid

Untuk menilai kemajuan murid digunakan tiga jenis kartu penilaian, yaitu kartu kemajuan individu, kartu rekapitulasi (mingguan, bulanan, catur wulan) dan kartu rekapitulasi laporan perkembangan setiap murid.

Penutup

Beranjak dari uraian di atas, mengenai model pembelajaran TK atraktif, maka dapat disimpulkan bahwa betapa sistem dan praktik pendidikan perlu dirancang, dikembangkan agar secara nyata menumbuhkan daya cipta peserta didik, melahirkan

hal-hal yang baru, kemampuan berpikir secara divergen, kemampuan merealisasikan gagasan dan keinginan yang koheren dengan situasi-situasi baru, membangun konstruksi pemikiran dan aksi yang positif.

Antara Kebutuhan Hidup dan Profesionalisme

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa, Tanpa tanda jasa.
POTONGAN lagu himne guru di atas menunjukkan betapa pentingnya keberadaan seorang guru bagi kehidupan seorang manusia dalam mengenal dunia. Tanpa guru, tidak akan muncul generasi pintar yang akan membangun bumi ini. Semua orang pasti mengakui jasa seorang guru bagi dirinya walau hanya di dalam hati, tetapi mereka hanya mengakui dengan tanpa upaya memberikan suatu penghargaan yang lebih dibanding kepada profesi lain. Akibatnya, profesi guru yang dulu merupakan profesi yang paling bergengsi dan menjadi dambaan bagi generasi muda pada zaman leluhur kita, kini menjadi profesi yang kurang diminati dan dihargai dibanding dengan profesi lainnya. Orang tua akan sangat bangga jika anaknya menjadi seorang dokter, insinyur, tentara, polisi, atau profesi lainnya dibanding menjadi seorang guru.

Tuntutan profesionalisme guru terus didengungkan oleh berbagai kalangan di masyarakat kita, termasuk kalangan guru sendiri melalui berbagai organisasi guru yang ada, di samping tuntutan perbaikan taraf hidup guru. Mereka berharap, untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia, diperlukan seorang guru yang profesional dalam mendidik siswa-siswinya di sekolah.

Hal ini jelas menunjukkan masih adanya perhatian masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Masih rendahnya tingkat profesionalisme guru saat ini disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal guru itu sendiri dan faktor lainnya yang berasal dari luar. Faktor-faktor tersebut antara lain:
  1. Penghasilan yang diperoleh guru belum mampu memenuhi kebutuhan hidup harian keluarga secara mencukupi. Oleh karena itu, upaya untuk menambah pengetahuan dan informasi menjadi terhambat karena dana untuk untuk membeli buku, berlangganan koran, internet tidak tersedia. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dapur harus juga melakukan kerja sampingan lainnya.

  2. Kurangnya minat guru untuk menambah wawasan sebagai upaya meningkatkan tingkat profesionalisme sebab bertambah atau tidaknya pengetahuan serta kemampuan dalam melaksanakan tugas rutin tidak berpengaruh terhadap pendapatan yang diperolehnya. Kalaupun ada, hal itu tidak seimbang dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan.

  3. Meledaknya jumlah lulusan sekolah guru dari tahun ke tahun.

Hal itu merupakan akibat dari mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan). Mereka yang tidak tertampung oleh pasar kerja kemudian mencoba menjadi guru, sehingga profesi ini menjadi pekerjaan yang "murah".Ironis memang, guru yang telah banyak menghasilkan para pemimpin, politisi dan ilmuwan serta serta berbagai profesi lainnya kini dianggap sebagai profesi "murah" dan menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Hal ini bukanlah harus dilawan oleh guru secara fisik atau perang kata-kata agar yang lain mau mengakui dan menerima guru sebagai tenaga yang profesional yang berjasa bagi pembangunan negeri ini.

Upaya dengan cara berkoar-koar tidak akan mampu mengubah image yang telah melekat, namun justru malah semakin membuat posisi guru semakin terpojok. Yang harus dilakukan, guru justru harus memperlihatkan sikap profesional sebagai seorang pendidik, bukan hanya sebagai pengajar. Hanya melalui karya nyata dan sikap keseharian yang diperlihatkan oleh seorang guru lah yang mampu mengangkat harkat dan martabatnya serta diakuinya keprofesionalannya oleh masyarakat. Pemenuhan kebutuhanPemenuhan kebutuhan hidup merupakan suatu yang harus diupayakan oleh setiap individu. Bagi seorang guru, kebutuhan hidupnya bukan hanya sandang, pangan, dan papan, melainkan juga kebutuhan untuk menambah wawasan dan pengetahuan agar dia mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adat istiadat yang terus berkembang di tengah masyarakat.

Bagi kebanyakan guru, pemenuhan semua kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dalam upaya meningkatkan profesionalisme masih menjadi suatu impian karena pendapatan mereka sebagai seorang guru belum mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Jangankan berpikir berlangganan koran, majalah atau internet dan menyediakan anggaran khusus untuk membeli buku secara rutin setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup rutin keluarganya yang paling mendasar pun masih kesulitan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kekurangan tersebut mereka berupaya sekuat tenaga untuk mencukupi dengan melakukan kerja sampingan secara serabutan.Mengajar di banyak sekolah serta kerja sampingan yang bersifat fisik telah menjadi pilihan kebanyakan guru untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya. Hal ini jelas berakibat pada kurangnya waktu untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta perhatian kepada anak didik.

Akibat dari kesibukan mereka untuk mencari tambahan penghasilan tersebut, seorang guru berubah fungsi dari seorang pendidik menjadi pengajar. Mereka hanya mengajarkan ilmu kepada anak didiknya, dengan kemampuan yang pas-pasan karena apa yang disampaikannya hanya mengacu pada buku teks. Dengan demikian, tidak heran jika wawasan dan pengetahuan seorang guru berkenaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat tertinggal dibanding anak didik. Akibatnya, lembanga sekolah dan khususnya guru hanya dianggap sebagai pemberi angka nilai rapor dan tidak lebih dari itu. Murid lebih percaya kepada lembaga bimbingan belajar dan informasi yang diperoleh dari berbagai media informasi. Penilaian atas rendahnya tingkat profesionalisme guru juga disebabkan oleh rendahnya minat guru terhadap dunia tulis-menulis. Mereka cenderung menyampaikan ide dan gagasan hanya melalui pembicaraan, bukan melalui tulisan ilmiah.

Padahal, penyampaian ide dan gagasan melalui tulisan akan terus memacu guru untuk membaca dan mencari sesuatu yang baru. Bahkan jika beruntung, tulisan kita dimuat di salah satu terbitan jelas akan mendatangkan pundi-pundi yang dapat menutupi kekurangan biaya hidup. Rendahnya minat guru untuk menekuni dunia tulis-menulis banyak disebabkan oleh keengganan mereka untuk mencoba menuangkan ide dalam bentuk tulisan. Dengan alasan kesulitan untuk memulai, takut tidak dimuat, takut ditertawakan dan hanya menghabiskan waktu. Padahal, pengetahuan dan wawasan yang dimiliki guru dari hasil studi panjang di pergurtuan tinggi, berbagai pelatihan dan pendidikan profesi serta hasil membaca dari berbagai media cetak dan buku-buku ilmiah dapat dijadikan dasar untuk memulai menulis dan meningkatkan profesionalisme dalam menjalankan profesi pendidikan.

Pergeseran budaya dalam pendidikan, dari budaya mendengar dan mendongeng menjadi budaya membaca, menulis, dan diskusi perlu dilakukan. Melalui budaya membaca, menulis dan diskusi akan tumbuh kehidupan ilmiah dalam masyarakat kita. Jika budaya ini telah tumbuh pada diri setiap guru di Indonesia, insya Allah para guru di Indonesia dengan sendirinya akan diakui oleh masyarakat sebagai guru yang profesional karena mampu memperlihatkan kemampuannya kepada masyarakat secara nyata bukan hanya retorika.

Minggu, 18 April 2010

Kebebasan Kembangkan Kreativitas Anak

Meski masih berusia dini, tiap anak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan belajar-mengajar. Para guru kelompok bermain dan taman kanak-kanak seharusnya mampu memberi kebebasan terhadap anak didik untuk mengembangkan kreativitas. “Guru harus mampu menarik garis untuk masuk ke dunia anak-anak sehingga lebih bisa memahami,” ungkap Ketua LSM Plan Indonesia Yanti Maskun dalam seminar literasi anak usia dini untuk guru kelompok bermain (KB) dan taman kanak-kanak (TK) se-DIY di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta.

Anak-anak, lanjut Yanti, adalah manusia seutuhnya sehingga guru harus mampu menerjemahkan setiap tangisan dan rengekan mereka.Para guru diharapkan tidak sekadar menerapkan sistem pendidikan warisan orangtua terhadap anak.

“Dulu tiap anak hanya bisa nrimo terhadap apa pun yang diajarkan guru dan orangtua. Sekarang anak punya hak sepenuhnya untuk mendapat pendidikan terbaik,” kata Yanti.

Pembicara seminar dari Universitas Pendidikan Indonesia Bachrudin Musthafa menambahkan, tiap guru harus memiliki perspektif sosiokultur, yaitu menerapkan metode pengajaran berpusat pada anak. Anak harus diperlakukan sebagai teman sebaya sekaligus sebagai aktor budaya untuk kegiatan aktif dan kreatif.

Pengalaman literasi

Pendidikan KB dan TK tak lagi hanya sebagai jenjang untuk mempersiapkan anak menuju sekolah dasar. Namun, tiap anak harus mulai belajar tentang pengalaman literasi atau kegiatan berbahasa. Anak-anak mulai belajar dari bahasa lisan menuju ke bahasa tulisan. Hingga usia dua tahun, ocehan berkembang menjadi penggunaan kalimat. Seusai dua tahun, anak mulai dapat menggunakan kata-kata dengan susunan yang lebih tertata. Selanjutnya mereka mulai memiliki variasi gaya tutur dan mengembangkan kesadaran sosial.

Pengalaman literasi tersebut akan semakin kuat tertanam dengan dukungan lingkungan sosial terdekat, antara lain melalui pembacaan cerita. “Pengalaman mendengar cerita membuat anak menyadari bahwa bahasa lisan dapat dituliskan dan tulisan bisa mengandung pesan,” tutur Bachrudin.

Guru juga harus memperkaya lingkungan kelas dengan kebiasaan berbahasa. Kelas sebaiknya dipenuhi dengan buku bacaan dan bahan cetak untuk menarik minat baca. Mendengarkan, menulis, dan menggambarkan cerita akan membantu anak untuk memahami kegiatan berbahasa.

Manajemen Peserta Didik dalam Menghadapi Kreativitas Anak

Suatu sistem pendidikan dapat dikatakan bermutu, jika proses belajar-mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dan efisien perlu disusun dan dilaksanakan program-program pendidikan yang mampu membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan yang optimal, diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia yang dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.

Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memobilisasi segala sumber daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Fakta-fakta dilapangan ditemukan sistem pengelolaan anak didik masih menggunakan cara-cara konvensional dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Padahal Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri anak didik juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan meguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya.

Dengan adanya kreativitas yang diimplementasiakan dalam sistem pembelajaran, peserta didik nantinya diharapkan dapat menemukan ide-ide yang berbeda dalam memecahkan masalah yang dihadapi sehingga ide-ide kaya yang progresif dan divergen pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah. Perkembangan anak didik yang baik adalah perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental. Tidak ada satu aspek perkembangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena itu, teori kecerdasan majemuk yang dikembangkan oleh psikolog asal Amerika Serikat, Gardner dinilai dapat memenuhi kecenderungan perkembangan anak didik yang bervariasi.

Penyelenggaraan pendidikan saat ini harus diupayakan untuk memberikan pelayanan khusus kepada peserta didik yang mempunyai kreativitas dan juga keberbakatan yang berbeda agar tujuan pendidikan dapat diarahkan menjadi lebih baik. Muhibbin Syah menjelaskan bahwa akar kata dari pendidikan adalah “didik” atau “mendidik” yang secara harfiah diartikan memelihara dan memberi latihan. Sedangkan “pendidikan”, merupakan tahapan-tahapan kegiatan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang melalui upaya pelatihan dan pengajaran. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tidak dapat lepas dari pengajaran. Kegiatan dari pengajaran ini melibatkan peserta didik sebagai penerima bahan ajar dengan maksud akhir dari semua hal ini sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang no. 20 tentang sisdiknas tahun 2003; agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam pendidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalui sebuah proses pengajaran diberikan. Sebagai seorang manusia menjadi sebuah aksioma bahwa peserta didik mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain, para pendidik dan lembaga sekolah harus menghargai perbedaan yang ada pada diri mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik. Hal ini terjadi dari konsep kreativitas yang masih kurang dipahami secara holistic, juga filsafat pendidikan yang sejak zaman penjajahan bermazhabkan azas tunggal seragam dan berorientasi pada kepentingan-kepentingan, sehingga pada akhirnya berdampak pada cara mengasuh, mendidik dan mengelola pembelajaran peserta didik. Kebutuhan akan kreativitas tampak dan dirasakan pada semua kegiatan manusia. Perkembangan akhir dari kreativitas akan terkait dengan empat aspek, yaitu: aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Kreativitas akan muncul dari interaksi yang unik dengan lingkungannya.

Kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan mengujinya. Proses kreativitas dalam perwujudannya memerlukan dorongan (motivasi intristik) maupun dorongan eksternal. Motivasi intrinstik ini adalah intelegensi, memang secara historis kretivitas dan keberbakatan diartikan sebagai mempunyai intelegensi yang tinggi, dan tes intellejensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasikan anak berbakat intelektual tetapi pada akhirnya hal inipun menjadi masalah karena apabila kreativitas dan keberbakatan dilihat dari perspektif intelejensi berbagai talenta khusus yang ada pada peserta didik kurang diperhatikan yang akhirnya melestarikan dan mengembang biakkan Pendidikan tradisional konvensional yang berorientasi dan sangat menghargai kecerdasan linguistik dan logika matematik. Padahal, Teori psikologi pendidikan terbaru yang menghasilkan revolusi paradigma pemikiran tentang konsep kecerdasan diajukan oleh Prof. Gardner yang mengidentifikasikan bahwa dalam diri setiap anak apabila dirinya terlahir dengan otak yang normal dalam arti tidak ada kerusakan pada susunan syarafnya, maka setidaknya terdapat delapan macam kecerdasan yang dimiliki oleh mereka.

Salah satu cara dalam memecahkan masalah ini adalah pengelolaan pelayanan khusus bagi anak-anak yang punya bakat dan kreativitas yang tinggi, hal ini memang telah diamanatkan pemerintah dalam undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, perundangan itu berbunyi ” warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Pengertian dari pendidikan khusus disini merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan-pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pada akhirnya memang diperlukan adanya suatu usaha rasional dalam mengatur persoalan-persoalan yang timbul dari peserta didik karena itu adanya suatu manajemen peserta didik merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Siswa berbakat di dalam kelas mungkin sudah menguasai materi pokok bahasan sebelum diberikan. Mereka memiliki kemampuan untuk belajar keterampilan dan konsep pembelajaran yang lebih maju.

Untuk menunjang kemajuan peserta didik diperlukan modifikasi kurikulum. Kurikulum secara umum mencakup semua pengalaman yang diperoleh peserta didik di sekolah, di rumah, dan di dalam masyarakat dan yang membantunya mewujudkan potensi-potensi dirinya. Jika kurikulum umum bertujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan pada umumnya, maka saat ini haruslah diupayakan penyelenggaraan kurikulum yang berdiferensi untuk memberikan pelayanan terhadap perbedaan dalam minat dan kemampuan peserta didik. Dalam melakukan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik yang mempunyai potensi keberbakatan yang tinggi, guru dapat merencanakan dan menyiapkan materi yang lebih kompleks, menyiapkan bahan ajar yang berbeda, atau mencari penempatan alternatif bagi siswa. Sehingga setiap peserta didik dapat belajar menurut kecepatannya sendiri.

Dalam paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang kreativitas, cukup banyak orangtua dan guru yang mempunyai pandangan bahwa kreativitas itu memerlukan iklim keterbukaan dan kebebasan, sehingga menimbulkan konflik dalam pembelajaran atau pengelolaan pendidikan, karena bertentangan dengan disiplin. Cara pandang ini sangatlah tidak tepat. Kreativitas justru menuntut disiplin agar dapat diwujudkan menjadi produk yang nyata dan bermakna. Displin disini terdiri dari disiplin dalam suatu bidang ilmu tertentu karena bagaimanapun kreativitas seseorang selalu terkait dengan bidang atau domain tertentu, dan kreativitas juga menuntut sikap disiplin internal untuk tidak hanya mempunyai gagasan tetapi juga dapat sampai pada tahap mengembangkan dan memperinci suatu gagasan atau tanggungjawab sampai tuntas.

Masa depan membutuhkan generasi yang memiliki kemampuan menghadapi tantangan dan perubahan yang terjadi dalam era yang semakin mengglobal. Tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini belum mempersiapkan para peserta didik dengan kemampuan berpikir dan sikap kreatif yang sangat menentukan keberhasilan mereka dalam memecahkan masalah. Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.

Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Merupakan suatu tantangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk dapat membina serta mengembangkan secara optimal bakat, minat, dan kemampuan setiap peserta didik sehingga dapat mewujudkan potensi diri sepenuhnya agar nantinya dapat memberikan sumbangan yang bermakna bagi pembangunan masyarakat dan negara. Teknik kreatif ataupun taksonomi belajar pada saat ini haruslah berfokus pada pengembangan bakat dan kreativitas yang diterapkan secara terpadu dan berkesinambungan pada semua mata pelajaran sesuai dengan konsep kurikulum berdiferensi untuk siswa berbakat. Dengan demikian diharapkan nantinya akan dihasilkan produk-produk dari kreativitas itu sendiri dalam bidang sains, teknologi, olahraga, seni dan budaya.

Merangsang Kreativitas Prasekolah

Sesungguhnya, setiap anak terlahir sebagai sosok yang memiliki kreativitas. Akan tetapi jangan salah, potensi kreatif tidak terberikan begitu saja, melainkan perlu pengembangan, hingga membuahkan sesuatu. Nah, dalam hal ini, peran orang tua begitu dominan, bagaimana anak dapat mengembangkan potensi kreatifnya?

Menurut Prof. Dr. Sukarni Catur Utami Munandar, Dipl-Psych., anak berumur 3-5 tahun, memerlukan pengasuhan dan bimbingan yang baik agar muatan kreativitasnya dapat diberdayakan secara optimal. Pada skala umur ini, anak mudah menyerap segala informasi yang ada di sekitarnya.

Sistem belajar sambil bermain merupakan cara terbaik yang dapat diberikan kepada anak usia 3-5 tahun. Tentu saja harus disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuan masing-masing anak. Inilah beberapa pokok yang bisa dijadikan pembelajaran bagi mereka:

* Belajar mengembangkan dan mengasah keterampilan fisik yang diperlukan untuk melakukan berbagai permainan.

* Belajar menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan lingkungannya.

* Belajar mengembangkan berbagai keterampilan dasar, termasuk “membaca”, “menulis” dan “menghitung”.

MENGAPA BELAJAR SAMBIL BERMAIN

Dengan bermain, anak akan belajar mengenal aturan, disiplin, tanggung jawab, dan kemandirian serta belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Terlebih, di usia ini anak-anak sudah bisa mengikuti kegiatan di kelompok bermain dan taman kanak-kanak. Dengan belajar sambil bermain, maka secara otomatis daya pikir, imajinasi, emosi, dan sosialnya akan terstimulasi. Di situ, terbuka kesempatan bagi anak untuk menciptakan karya-karya nyata dengan kemampuannya sendiri. Ia akan mengalami banyak hal sendiri, berkomunikasi aktif dengan teman-temannya, dan mengekspresikan pengalamannya baik secara lisan maupun gambar/tulisan.

MEMILIH ALAT BELAJAR DAN BERMAIN

Alat-alat peraga yang digunakan selama bermain mesti bisa menstimulasi pengembangan kreativitas anak. Gunakan alat bermain edukatif yang memiliki fungsi mendidik dan juga menghibur. Dengan begitu anak bisa terstimulasi untuk menyenangi proses belajar, hingga imajinasinya pun berkembang.

Alat permainan edukatif ini banyak macamnya, seperti puzzle dan lego yang dapat melatih kemampuan kreatif. Anak juga bisa membuat mainan sendiri, umpamanya kapal-kapalan dari kertas atau pelepah pisang. Selain itu, sediakan juga alat peraga lain seperti gambar, poster, papan permainan, alat-alat kesenian dan sebagainya.

Usahakan agar kegiatan yang dilakukan tidak monoton. Oleh karena itu orang tua dan guru didik perlu menghidupkan cara-cara yang dapat mengembangkan aktivitas anak. Tujuannya agar tercipta kegiatan belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan.

BELAJAR DI ALAM

Kegiatan yang merangsang kreativitas dan kecerdasan emosional anak sebetulnya akan lebih efektif bila dilakukan di alam terbuka. Lakukanlah permainan atau aktivitas yang tidak biasa karena di TK, anak biasanya melakukan kegiatan yang relatif sama, hingga dikhawatirkan membuatnya bosan dan jenuh. Pilih kegiatan berupa permainan atau pembelajaran yang menyangkut kehidupan sehari-hari.

Di usia prasekolah ini anak hendaknya dibiasakan mengenal lingkungan sekitar. Kalau biasanya anak hanya melihat pantai di televisi atau buku saja, ajaklah ia berekreasi ke sana. Tunjukkan bagaimana bentuk pasir dan indahnya ombak yang bergulung-gulung. Ajak pula dirinya menikmati segarnya udara dan indahnya peman dangan di pegunungan.

BELAJAR SENDIRI

Di sekolah, anak pastilah belajar bermain secara berkelompok dengan teman-teman sebaya. Dia akan belajar berinteraksi, bekerja sama, dan mematuhi aturan-aturan kelompok. Namun, adakalanya anak juga ingin bermain sendirian. Kesendirian seperti itulah yang akan memunculkan berbagai imajinasinya. Sedangkan ide-ide kreatif takkan timbul jika selalu main bersama.

Untuk itu, orang tua harusnya mengupayakan agar anak bisa bermain berselang-seling antara sendirian dan bersama-sama. Jika memang memungkinkan, ayah-ibu perlu mengusahakan ruangan atau pojok di rumah untuk anak. Biarkan anak memiliki privasinya dan bebas melakukan apa yang disukainya. Di tempat tersebut biarkan anak menyimpan buku, mainan dan mengerjakan sesuatu yang disenangi untuk merangsang imajinasinya.

* Imajinasi

Imajinasi jangan ditafsirkan sebagai sesuatu yang bersifat lamunan atau khayalan semata. Berilah kesempatan pada anak-anak untuk mengembangkan daya imajinasinya. Dengan demikian dia akan mengeksplorasi potensi kreativitasnya. Orang tua perlu membimbing anak untuk mengungkapkan hasil imajinasinya itu melalui cerita, gambar atau tulisan.

* Kreasi

Biarkan anak berkreasi sekehendak hatinya. Orang tua jangan memberikan batasan atau mengekang daya kreatif anak. Biarlah anak-anak belajar melalui caranya sendiri. Bagaimanapun, setiap aktivitas yang dilakukan anak merupakan proses belajar, dan kemampuan kreativitas itu harus dilihat dari prosesnya, bukan hanya hasil.

SEIMBANGKAN OTAK KIRI DAN KANAN

Utami menyebutkan, belahan otak kiri dan otak kanan haruslah dirangsang secara seimbang. Sayangnya, sistem pembelajaran untuk anak-anak di sini masih lebih difokuskan pada pengembangan otak kiri, yang mengasah kemampuan logika, analisis, dan penalaran. Sementara belahan otak kanan yang merangsang kreativitas, imajinasi, intuisi, dan seni kurang dirangsang.

Di negara-negara Eropa, upaya mengembangkan otak kanan dilakukan dengan kegiatan menari, menyanyi, melukis dan sebagainya. Mereka yakin dengan merangsang seni, kreativitas dan imajinasi lebih dulu, maka kemampuan matematis anak justru bisa berkembang lebih baik. Pandangan ini agaknya berlaku terbalik di kebanyakan lembaga pendidikan diIndonesia. Anak didik lebih banyak dirangsang menggunakan belahan otak kiri, sedangkan otak kanan sangat jarang digunakan. Misalnya, mereka ditekankan untuk secepatnya menerima pelajaran menulis, membaca, menghitung dan menghapal semata yang justru menyebabkan anak jadi tidak kreatif. Artinya, kita cenderung melalaikan pengembangan kreativitas dan imajinasi anak, padahal mestinya rangsangan itu dilakukan secara seimbang, agar fungsi otak kanan dan otak kiri berjalan optimal.

Belahan otak kiri dan kanan, asal tahu saja, bekerja saling bergantung satu sama lain. Apabila tidak terbiasa menggunakannya secara seimbang, salah satu dari belahan otak yang jarang digunakan akan mengalami hambatan-hambatan dalam menjalankan fungsinya. Hal ini pula yang menimbulkan kemiskinan kreativitas pada anak-anak.

SELEKTIF PILIH PLAYGROUP/TK

Bukan kelengkapan sarana permainan dan peraga saja yang perlu diperhatikan orang tua saat memilih “sekolah”, tapi juga kualitas guru-gurunya. Mereka harus paham perkembangan psikologi anak usia prasekolah. Mereka juga harus tahu bagaimana menstimulasinya dengan kegiatan yang menarik sekaligus memberikan pengajaran.

Ingat, dunia anak adalah dunia bermain. Melalui bermain, anak memperoleh pelajaran yang mengandung aspek perkembangan kognitif, sosial, emosi dan perkembangan fisik. Melalui kegiatan bermain, anak dirangsang untuk berkembang secara umum, baik perkembangan berpikir, emosi maupun sosial.

Pada rentang umur ini pula, orang tua sudah bisa melihat bakat atau minat anak. Cobalah beri kesempatan kepadanya untuk mencoba berbagai aktivitas, semisal melukis, menari, menyanyi, atau main piano.

Jika pada anak sudah terlihat minat yang dominan, pupuklah terus. Namun, minat itu tidak perlu langsung diarahkan/ditunjukkan pada satu bidang tertentu. Biarkan saja anak memiliki kebebasan. Utami menambahkan, jika orang tua kurang menstimulasi anak, dikhawatirkan perkembangan mentalnya akan berjalan sangat lambat.


Deteksi Dini Anak Berbakat

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus” (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya” (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.

Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:

* Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
* Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidan gbahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
* Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
* Kemampuan memimpin yan gmenonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
* Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.

Pada zaman modern ini orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka “cepat menjadi pandai.” Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan “perilaku aneh” dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.

Tanda-tanda Umum Anak Berbakat
Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.

Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi “kehausan” akan informasi.

Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulsiannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yan gtidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.

Pelayanan bagi Anak Berbakat
Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.

Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara “lompat kelas”, artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya.

Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk:

(1) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun

(2) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja. Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.

2) Home-schooling (pendidikan non formal di luar sekolah). Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/di luar sekolah, yang sering disebut home-schooling. Dalam home-schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat program khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan. Pada suatu ketika jika anak sudah siap kembali ke sekolah, maka ia bisa saja dikembalikan ke sekolah pada kelas tertentu yang cocok dengan tingkat perkembangannya.

3) Menyelenggarakan kelas-kelas tradisional dengan pendekatan individual. Dalam model ini biasanya jumlah anak per kelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam daripada anak lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin akan dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangan dan ritme belajarnya.

4) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat. Dalam hal ini anak-anak yang memiliki bakat/kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas tradisional bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini pun harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan daripada pendekatan klasikal. Kelas khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajarannyapun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pergaulan Anak Berbakat
Anak berbakat seringkali lebih suka bergaul dengan anak-anak yang lebih tua dari segi usia, khususnya mereka yang memiliki keunggulan dalam bidang yang diminati. Misalnya saja ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat suka bermain catur dengan orang-orang dewasa, karena jika ia bermain dengan teman sebayanya rasanya kurang berimbang. Dalam hal ini para orang tua dan guru harus memakluminya dan membiarkannya sejauh itu tidak merugikan perkembangan yang lain.

Di dalam keluarga pun orangtua hendaknya mencarikan teman yang cocok bagi anak-anak berbakat sehingga ia tidak merasa kesepian dalam hidupnya. Jika ia tidak mendapat teman yang cocok, maka tidak jarang orang tua dan keluarga, menjadi teman pergaulan mereka. Umumnya anak berbakat lebih suka bertanya jawab hal-hal yang mendalam daripada hal-hal yang kecil dan remeh. Kesanggupan orang tua dan keluarga untuk bergaul dengan anak berbakat akan sangat membantu perkembangan dirinya.


Games Elektronik Untuk Anak

Di jaman yang serba modern seperti sekarang ini, permainan games elektronik memang mewarnai kehidupan anak-anak. Namun ternyata permainan ini juga membawa efek negatif, sehingga ada baiknya anda para orangtua jangan mengenalkan games ini terlalu awal pada anak-anak.

Games elektronik ini memang membuat ketagihan, baik orang dewasa maupun anak-anak. Sebut saja Playstation, Game Boy, Nintendo, dan banyak lagi. Pada saat bermain games ini, anak-anak sering kali lupa waktu karena beragam tantangan yang dihadirkan oleh games tersebut. Dan perasaan berkuasa saat sanggup memenangkan permainan dan mengendalikan tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh games tersebut.

Namun dibalik keasyikan yang dimunculkan oleh games ini ternyata efek negatif yang ditimbulkan juga cukup besar. Karena pada saat kalah maupun menang dalam games, pasti keinginan untuk bermain lagi amat sangat kuat, sehingga permainan ini akan manghabiskan waktu berjam-jam tanpa terasa. Efeknya mereka jadi kurang membaca, kurang bergaul diluar dengan teman sebayanya, bahkan kurang berkumpul dengan keluarga.

Jadi sebaiknya kita tidak mengenalkan games elektronik ini terlalu dini kepada anak-anak, namun jika mereka sudah mengenal sebaiknya kita harus pintar-pintar membatasi waktu bermainnya. Luangkan lah waktu untuk bermain dengan mereka sehingga kita dapat selalu dekat dan mengetahui perkembangan mereka.


Pentingnya Permainan Untuk Perkembangan Anak

Bermain sangat penting untuk perkembangan anak. Dengan bermain mereka dapat mengembangkan emosi, fisik, dan pertumbuhan kognitif nya. Bermain adalah cara bagi anak untuk belajar mengenai tubuh mereka dan dunia ini, dan pada saat itulah mereka akan menggunakan kelima indra yang dimilikinya.

“Bagaimana rasanya jika benda ini disentuh? Bagaimana bunyinya jika benda ini dijatuhkan? Apa yang terjadi jika benda ini dilempar?”

Dengan mengeksplorasi hal-hal yang ada disekitarnya inilah otak anak akan berkembang. Dengan bermain mereka mengembangkan imajinasi, skill, kemandirian, kreativitas, dan kemampuan bersosialisasi. Disini mereka akan belajar berbagi mainan dengan teman dan saudaranya, belajar mengucapkan kata ‘maaf’ dan ‘terima kasih’.

Pada saat ini, bermain adalah pekerjaan anak, dan membereskan sisa permainan menjadi pekerjaan kita sebagai orang tua


Tips Membangun Kepercayaan Diri Anak

Memiliki anak yang memiliki kepercayaan diri alias ‘PD’ tentunya menyenangkan. Karena dengan kepercayaan diri yang mereka miliki ini dapat menciptakan prestasi dalam kehidupan mereka nantinya, dan juga keberhasilan dalam bersosialisasi tentunya.

Berikut beberapa tips untuk membantu meningkatkan rasa percaya diri anak:

* Menciptakan lingkungan rumah yang nyaman dan aman bagi anak merupakan awal dari segalanya. Berikanlah rutinitas yang dirasa cukup nyaman bagi mereka.
* Perkenalkan mereka dengan lingkungan sekitar, secara bertahap dan berkala kenalkan mereka dengan kehidupan bersosialisasi. Misalnya pada saat kita sedang bermain dengannya, ada anak kecil yang berada disana, dorong mereka untuk berkenalan dan bermain bersama. Hal ini untuk mengembangkan kemampuan sosialnya dan agar dia tidak merasa malu pada saat berada di tempat umum.
* Jangan terlalu sering mengajak anak menonton televisi, karena berdasarkan penelitian hal ini terbukti membuat anak cenderung bersikap individu.
* Doronglah anak agar aktif berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler diluar, sehingga mereka semakin banyak bertemu orang lain.
* Minta anak untuk membantu kegiatan kita, karena dengan dimintai bantuan akan membuat dia merasa mampu dan penting
* Berikan dukungan atas hal-hal yang dipelajarinya, dan ucapkanlah bahwa anda yakin dia akan berhasil.
* Dan yang pasti, selalu berikan dorongan yang positif kepada mereka!

Artikel Terkait :

* Manajemen Peserta Didik dalam Menghadapi Kreativitas Anak
* Merangsang Kreativitas Prasekolah
* Deteksi Dini Anak Berbakat
* Games Elektronik Untuk Anak
* Pentingnya Permainan Untuk Perkembangan Anak
* Hadirkan “MPR” di Keluarga Anda
* Alihkan Emosi Anda Saat Anak Merengek
* Efek Psikologis pada Anak yang Sering Ditinggal Orangtuanya, serta Solusinya
* Apakah Anak Anda Cerdas
* Asyiknya Bermain Sains di Taman Kanak-Kanak
* Kebebasan Kembangkan Kreativitas Anak

Hadirkan “MPR” di Keluarga Anda

Majelis Permusyawaratan Rumah (MPR) menjadi wadah positif bagi tumbuh-kembang anak di rumah. MPR bisa menjadi ajang evaluasi ayah, ibu, dan anak-anaknya.

Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, mengatakan anak belum banyak tahu dan sedang dalam proses belajar. Jika orangtua atau orang dewasa di sekelilingnya berkata kasar, anak akan belajar darinya.

Orangtua bisa saja keliru atau tak sengaja melontarkan kata kasar di depan anak. Jika sudah begini, orangtua harus legowo meminta maaf. Hadirkan juga kesempatan berbagi dengan melibatkan anak, tentang perilaku baik dan buruk yang terjadi selama seminggu.

"Mendidik anak dengan kata atau sikap kasar tidak akan memberikan keteladanan. Munculkan suasana kasih sayang dengan mengobrol, misalkan dalam bentuk sidang Majelis Permusyawaratan Rumah. Evaluasi bersama dengan meminta pendapat anak tentang perilaku baik buruk, yang disukai atau tidak oleh anak dari orangtuanya," papar Kak Seto dalam acara Metro Pagi yang ditayangkan Metro TV, Sabtu (10/4/2010) pagi tadi.

Orangtua perlu mencatat apa yang disukai anak dan tidak dari perilaku ibu dan ayahnya, demikian Kak Seto mencontohkan budaya terbuka dalam MPR ini. Tak perlu sungkan untuk meminta anak menegur orangtua, jika tak sadar bicara kasar.

Menurut Kak Seto, cara ini mengajarkan anak tentang budaya baik dan buruk yang boleh dan tidak boleh dilakukan di rumah. Anak akan belajar dari keteladanan dan keterlibatannya bersama orang dewasa.

"Anak harus diberdayakan dan terlibat dalam membentuk budaya keluarga. Orangtua juga harus mau dikritik. Misalkan janji ke mal tapi tak dipenuhi, lalu anak menagih janji. Ini baik dilakukan oleh anak. Berikan penjelasan kepada anak agar mereka memahami kondisinya," tukas Kak Seto.

Anak akan merasa satu tim dengan ayah-ibunya jika mereka diperlakukan sebagai subyek, lanjutnya. Hanya saja perlu juga diperhatikan, MPR akan efektif jika suasananya menyenangkan dan tidak kaku.


Alihkan Emosi Anda Saat Anak Merengek

Para ibu rumah tangga seringkali kesulitan menghadapi anak yang merengek atau bertengkar dengan kakak-adiknya. Terutama jika jarak usia anak sangat dekat. Emosi bisa saja terpancing, namun membentak anak bukanlah cara yang baik untuk perkembangannya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Seto Mulyadi, atau akrab disapa Kak Seto, mengatakan bahwa seorang ibu harus belajar melatih diri mengontrol emosi. Caranya bisa beragam, kuncinya hadapi anak dengan tenang, sabar, dan kasih sayang.

"Musik paling indah adalah saat mendengar anak merengek. Melihat tangan anak kotor dengan makanan atau mainannya, adalah keindahan. Momen seperti ini tidak akan terulang saat anak dewasa, jadi nikmati dinamika dan romantikanya. Ibu bisa mengatasi anak dengan kesabaran, dan bukan bentakan atau kata kasar," jelas Kak Seto dalam acara Metro Pagi yang ditayangkan Metro TV, Sabtu (10/4/2010) pagi tadi.

Perlu dipahami bahwa perilaku anak muncul karena nalurinya sebagai anak-anak. Orang dewasa, dalam hal ini ibu, sebaiknya menanggapi perilaku anak dengan tepat, kata Kak Seto.

Emosi ibu yang biasanya terpancing perilaku anak bisa disalurkan dengan berbagai aktivitas yang positif, lanjutnya.

"Kalau jengkel, ibu bisa pergi ke dapur atau kamar mandi. Alihkan emosi dengan mengerjakan pekerjaan lain seperti mencuci perabotan, menyikat kamar mandi, atau apa pun yang mengalihkan emosi, daripada menumpahkan emosi kepada anak-anak," tukas Kak Seto.

Menyanyi lebih baik daripada berteriak, saat kesal dengan perilaku anak. Bagaimanapun anak menangkap apa yang dilakukan orang dewasa. Jika orangtua mengeluarkan kata kasar, anak belajar darinya. Jika emosi orangtua disalurkan dengan sesuatu yang positif, anak akan merekam hal positif pula.

"Dengan cara ini, rasa yang kemudian muncul adalah bersyukur. Ibu mensyukuri masih bisa menikmati tangisan anak, yang tidak akan ditemuinya lagi saat anak remaja. Anak juga merasa bersyukur karena orangtuanya bersikap baik meski perilaku mereka memancing emosi," tandasnya.


Tips Bermain Sambil Belajar

Masa kanak-kanak yang menyenangkan, tidak luput dari yang namanya masa bermain.
Agar proses bermain yang dilakukan anak benar-benar dapat bermanfaat bagi dirinya, sekaligus sebagai proses belajar, beberapa hal berikut sebaiknya Anda lakukan:

1. Pastikan sepadat apapun jadwal belajar dan kesibukan anak seperti les masih terdapat waktu luang yang cukup untuk bermain
2. Sesekali, ikutlah bermain bersama anak. Coba pahami kegembiraannya, serta apa yang ia butuhkan. Salah satu permainan mendidik yang bisa Anda lakukan bersama si kecil adalah bermain pura-pura, seperti pura-pura berada di rumah sakit, atau pura-pura menjadi pemadam kebakaran. Langkah ini efektif agar Anda dapat lebih mengenal siapa si kecil, apa yang ia butuhkan dan sejauh mana kemampuan serta daya imajinasinya. Pengetahuan ini Anda butuhkan agar tidak menjadi orangtua yang terlalu ambisius.
3. Sejauh permainan yang dilakukan anak tidak membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, dukunglah kreativitas anak. Anda pun harus kreatif dalam hal ini. Jika si kecil suka mencoret-coret tembok, misalnya, cobalah mengalah dengan melapisi tembok dengan karton putih. Pengalaman mengatakan bahwa melarang anak mencoret tembok dan mengalihkannya pada buku gambar hanya bisa bertahan selama beberapa waktu. Daripada kreativitas anak terhambat dan Anda terus nggerundel karena tembok kotor, langkah ini tak ada salahnya Anda lakukan.
4. Bimbing dan awasi anak dalam bermain, namun jangan menjadi orang tua yang overprotective. Anak Anda belum cukup dewasa untuk membedakan mana permainan yang membahayakan dirinya dan mana yang tidak. Namun, jangan bersikap berlebihan hingga menghalangi kebebasannya. Misalnya, jangan melarang anak bermain sepeda karena takut jatuh, karena jatuh dari sepeda adalah hal yang wajar dialami anak-anak. Namun, ingatkan anak saat ia kebut-kebutan dalam bersepeda karena itu akan membahayakan dirinya.

Efek Psikologis pada Anak yang Sering Ditinggal Orangtuanya, serta Solusinya

Baik dan buruknya anak tergantung bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anak. Saat ini, karena sudah merupakan tuntutan banyak ibu yang bekerja, bahkan sampai keduanya berpisah kota hanya untuk memenuhi nafkah keluarga, seperti yang dialami oleh tetangga Anda. Namun keadaan yang terjadi bukanlah suatu akhir yang buruk, tetapi bagaimana kita bisa menyikapi secara positif dari segala keadaan. Nah, untuk ibu yang bekerja, belum tentu akan berkibat buruk kepada anak, tetapi bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anaknyalah yang akan menentukan pertumbuhan dan perkembangan dari anak. Berkaitan dengan kasus tetangga anda, meskipun ayah berbeda kota dan ibu bekerja, tetapi jika hubungan dalam keluarga bisa saling mengisi, terutama ibu bisa berperan ganda untuk anak, maka kemampuan anak masih dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tahapan perkembangannya.

Berikut beberapa tips yang dapat dilakukan ibu:

1. Ketika ibu bekerja, siapakah pengganti dari ibu, karena peran pengganti figur ibu juga menentukan keoptimalan dari perkembangan anak. Untuk ibu perlu bekerja sama dengan pengasuh agar dapat terus memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. Ibu harus aktif mencari tahu segala informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Ibu harus meluangkan waktu untuk memenuhi waktu yang hilang bersama dengan anak. Dengan demikian kedekatan emosional masih terus terjaga dan ibu bisa terus memberikan stimulus pada anak supaya pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berkembang secara optimal.
3. Anak yang tumbuh dengan sehat maka kemampuannya juga akan berkembang dengan baik, dengan kata lain anak yang sehat secara fisik maka kecerdasannya juga akan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki.
4. Kecuali jika ada kasus-kasus khusus pada anak, misalnya autis, hiperaktif, dll maka hal ini diperlukan penanganan khusus.

Untuk Anda yang baik hati, Anda dapat membantu tetangga Anda dengan memberikan dukungan untuk selalu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Banyak sekali informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak dan bagaimana kita merangsang pertumbuhan dan perkembangan agar anak dapat berkembang secara optimal. Untuk anaknya, jika di lingkungan anda ada PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), maka akan lebih baik jika si anak diajak untuk ikut, karena disana ia akan belajar bersosialisasi dan mengembangkan keterampilannya sehingga dapat meningkatkan kecerdasan anak.


Apakah Anak Anda Cerdas

Apakah anak Anda cerdas? Ya? Tidak? Bingung? Kira-kira acuan apa
yang Anda gunakan untuk menjawabnya? Sebagian besar orangtua biasanya akan
menggunakan nilai rapor sebagai acuan kecerdasan anak. Anak-anak yang
memperoleh ranking, pandai berhitung dan kuat menghafal cenderung
dikategorikan cerdas.

Lalu, bagaimana dengan anak-anak yang tidak mendapatkan ranking? Bagaimana
dengan anak-anak perkampungan kumuh Brasil yang jago bermain sepak bola,
tetapi mungkin tidak tahu perkalian? Bagaimana pula dengan para pelaut zaman
dahulu yang mengarungi samudera hanya dengan mengandalkan konstelasi bintang
di langit? Apakah mereka juga dapat dikategorikan cerdas?

Kalau pertanyaan tersebut disampaikan kepada Howard Gardner, tanpa ragu-ragu
profesor Universitas Harvard ini pasti akan mengiyakannya. Dalam konsep
Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences) yang dicetuskan pada tahun 1983,
Gardner mengelompokkan kecerdasan menjadi tujuh tipe, yaitu kecerdasan
musik, kinestetik-tubuh, logika-matematika, bahasa, spasial, interpersonal
dan intrapersonal.

Teori itu dilandasi oleh fakta bahwa kerusakan di bagian otak tertentu akan
membuat seseorang kehilangan kemampuan atau keterampilan tertentu. Jadi,
Gardner meyakini bahwa masing-masing tipe kecerdasan diatur oleh bagian otak
yang berbeda, misalnya tipe kecerdasan interper- sonal diatur oleh lobus
frontal, sedangkan tipe spasial diatur oleh spasial-belahan otak kanan.

Gardner merumuskan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan suatu
persoalan atau menghasilkan produk dalam lingkup suatu budaya atau
komunitas. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan persoalan bervariasi dari
mengarang cerita, menyusun komposisi musik, meluluskan negosiasi politik,
sampai dengan menentukan langkah skak-mat.

Masing-masing tipe kecerdasan akan tercermin dari produk atau prestasi yang
ditampilkan pemiliknya. Hanya saja tampilan produk ini dipengaruhi oleh
faktor budaya yang ada. Misalnya kecerdasan bahasa di suatu masyarakat
menghasilkan seorang pengarang cerita handal, sementara di lingkup komunitas
lain berkembang menjadi seorang orator.

Kecerdasan Musik
Kecerdasan musik sangat jelas ditampilkan oleh Yehudi Menuhi yang pada usia
tiga tahun jatuh cinta pada biola, dan menjadi pemain biola internasional
pada usia 10 tahun. Tipe kecerdasan ini berkembang dengan sangat baik pada
musisi, penyanyi dan komposer. Sementara kecerdasan kinestetik-tubuh lebih
banyak dikuasai oleh olahragawan, penari, pemahat, maupun dokter bedah.

Kecerdasan logika-matematika dapat membantu seseorang menemukan solusi
persoalan yang melibatkan perhitungan angka, sedangkan kecerdasan bahasa
meliputi kemampuan dalam hal mengarang, membaca maupun berkomunikasi verbal.
Tipe kecerdasan ini banyak dikuasai oleh mereka yang berprofesi sebagai
sastrawan, penyair, wartawan, presenter, maupun orator.

Para navigator, arsitek, desainer interior maupun pemain catur dapat
digolongkan sebagai mereka yang menguasai kecerdasan spasial. Tipe
kecerdasan ini memudahkan seseorang untuk menentukan arah, menggunakan peta,
dan melihat objek dari berbagai sudut.

Memukau, mempengaruhi, dan terampil membina hubungan dengan orang lain
adalah ciri-ciri dari mereka yang memiliki kecerdasan interpersonal. Dengan
keterampilannya dalam membina hubungan dengan orang lain, mereka sangat
cocok mengambil profesi sebagai guru, psikolog, tenaga pemasaran atau
negosiator.

Jika kecerdasan interpersonal membantu seseorang untuk memahami dan bekerja
dengan orang lain, maka kecerdasan intrapersonal memudahkan seseorang untuk
memahami dan bekerja dengan dirinya sendiri. Orang dengan tipe kecerdasan
ini mampu memahami hal-hal yang ada di dalam dirinya dan menggunakannya
sebagai alat untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri. Berbeda dengan tipe
lainnya, perwujudan tipe kecerdasan ini membutuhkan perpaduan dengan tipe
kecerdasan lainnya, misalnya perpaduan dengan kecerdasan bahasa akan
melahirkan karya sastra yang berisi pemikiran atau filosofi menakjubkan.

Seseorang dapat memiliki beberapa tipe kecerdasan sekaligus, hanya
intensitasnya saja yang berbeda-beda. Mungkin saja komposisinya adalah satu
tipe kecerdasan yang menonjol dan beberapa tipe kecerdasan lain yang
sedang-sedang saja. Sebagai contoh konkret, untuk menjadi penyanyi sekaliber
Kris Dayanti, memiliki kecerdasan musik saja tidaklah cukup. Diperlukan juga
kecerdasan kintestetik tubuh (berekspresi lewat gerakan tubuh), linguistik
(mengolah komunikasi), dan interpersonal (membina relasi dengan penggemar
atau media).

Sayangnya tidak semua tipe kecerdasan ini dihargai oleh masyarakat. Sekolah
pun cenderung lebih menghargai tipe kecerdasan logika-matematika dan bahasa.
Seorang siswa dengan nilai matematika 9 namun memperoleh nilai 5 pada
pelajaran olahraga tidak akan dianggap bermasalah.

Sebaliknya, seorang kapten tim dengan nilai matematika 5 akan dianggap
memiliki masalah. Mengikuti kursus matematika sepertinya telah menjadi suatu
keharusan, sedangkan kursus musik masih dianggap sebagai barang mewah.
Apalagi kecerdasan interpersonal yang sepertinya terlupakan untuk
dikembangkan sejak usia dini.

Cara belajar di sekolah yang lebih banyak menggunakan metode ceramah dan
membaca buku ajar juga hanya menguntungkan siswa dengan tipe kecerdasan
linguistik dan logika. Padahal siswa dengan tipe kecerdasan yang berbeda
memiliki cara belajar yang berbeda. Sebaiknya sekolah memiliki berbagai
metode pengajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua tipe kecerdasan.

Siswa tipe musik lebih cocok mempelajari materi yang dikaitkan atau dikemas
dalam bentuk musik. Siswa tipe kinestetik dapat menghafal dengan bantuan
gerakan tubuh, sedangkan tipe spasial akan sangat tertolong bila materi
pelajaran dikemas dalam bentuk tabel, grafik, diagram atau mind-mapping.
Belajar kelompok akan lebih sesuai untuk siswa dengan tipe interpersonal,
tetapi akan menyulitkan siswa tipe intrapersonal yang lebih cocok untuk
belajar seorang diri.

Kegagalan di Sekolah
Penekanan yang berlebihan pada tipe kecerdasan logika-matematika dan bahasa
membuat peluang sukses di sekolah sepertinya hanya tersedia bagi anak-anak
dengan kedua tipe kecerdasan ini. Kegagalan di sekolah jelas akan
mempengaruhi perkembangan kepribadian dan masa depan mereka. Oleh sebab itu
masyarakat dengan sekolah-sekolah semacam ini akan lebih banyak dipenuhi
orang-orang yang gagal atau yang dianggap gagal.

Identifikasi kecerdasan majemuk berbeda dengan pengukuran konsep kecerdasan
tradisional yang dapat dilakukan dengan tes terstandardisasi. Tes IQ yang
ada saat ini hanya dapat mengidentifikasi tipe kecerdasan bahasa,
logika-matematika, spasial dan sebagian tipe interpersonal.

Untuk melakukan identifikasi terhadap tipe kecerdasan majemuk, Gardner lebih
menganjurkan agar orangtua dan pihak sekolah menyediakan beragam sarana dan
prasarana yang terkait dengan ketujuh tipe kecerdasan tersebut. Setelah itu,
amati bidang apa yang lebih diminati oleh anak, seberapa mendalam ia
mengeksplorasi hal tersebut, dan sejauh mana ia menikmati aktivitas yang
dilakukannya.

Proses identifikasi ini harus melibatkan peran serta orangtua, guru, teman
dan anak itu sendiri dalam rentang waktu yang tak dapat ditentukan. Sebagai
contoh, dalam mengidentifikasi tipe kecerdasan anak usia SD, Gardner
menggunakan berbagai kegiatan termasuk kegiatan bermain. Di antaranya adalah
"permainan berburu harta karun" yang mengukur kemampuan anak dalam membuat
kesimpulan logis, "persepsi musik" yang mengukur kemampuan anak dalam
membedakan nada.

Ada pula "storyboard" yang mengukur rentang keterampilan berbahasa,
"portfolio seni" yang dinilai dua kali dalam setahun tentang penggunaan
garis, bentuk, warna, ruang, detil dan desain, gerakan atletik untuk
mengamati koordinasi, keseimbangan dan kekuatan tubuh dalam berbagai jenis
olahraga, dan "model kelas" untuk mengukur kemampuan anak dalam
mengobservasi dan menganalisa kejadian dan pengalaman sosial di kelas.

Kurungan Ayam
Apabila ingin mencari indikator dalam waktu singkat (namun kurang dapat
diandalkan), Anda dapat mengajak anak Anda ke sebuah ruangan yang berisi
berbagai macam alat dan permainan dari ketujuh tipe kecerdasan. Amatilah
alat permainan dan jenis aktivitas yang menarik perhatian mereka. Cara ini
mengingatkan kita pada upacara turun tanah dalam adat Jawa, di mana anak
diletakkan dalam kurungan ayam berisi berbagai benda. Benda yang diambil
dipercayai akan menjadi profesinya kelak.

Walaupun tipe kecerdasan ini terkait pula dengan natur seseorang, namun
rangsangan dari luar tetap diperlukan agar kecerdasan yang dimiliki dapat
terwujud dalam hasil karya yang nyata. Memperkenalkan anak pada berbagai
jenis aktivitas dinilai akan lebih bermanfaat daripada memfokuskannya pada
satu bidang saja. Pemberian rangsangan yang dibatasi pada satu tipe saja
akan membuat tipe kecerdasan lainnya (yang mungkin juga dimiliki anak)
menjadi mati dan tak dapat berkembang.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan gencarnya penelitian, tidak tertutup
kemungkinan akan ada tipe kecerdasan baru yang tereksplorasi. Pada tahun
1999, Gardner sedang mempertimbangkan tipe kecerdasan naturalis sebagai tipe
ke-8, yaitu kemampuan untuk bekerja sama dan menyelaraskan diri dengan alam.
Hal itu menunjukkan bahwa kelebihan anak Anda yang selama ini tidak pernah
Anda anggap sebagai bukti kecerdasan, mungkin saja suatu hari akan
dinyatakan sebagai tipe kecerdasan.

Nah, setelah membaca uraian di atas, dapatlah Anda dengan yakin menjawab
pertanyaan "Apakah Anak Anda Cerdas?


Jumat, 16 April 2010

Taman kanak-kanak

Taman Kanak-kanak (disingkat TK) jenjang pendidikan anak usia dini (yakni usia 6 tahun atau di bawahnya) dalam bentuk pendidikan formal. Kurikulum TK ditekankan pada pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Lama masa belajar seorang murid di TK biasanya tergantung pada tingkat kecerdasannya yang dinilai dari rapor per semester. Secara umum untuk lulus dari tingkat program di TK selama 2 (dua) tahun, yaitu:
  • TK 0 (nol) Kecil (TK A) selama 1 (satu) tahun
  • TK 0 (nol) Besar (TK B) selama 1 (satu) tahun
Umur rata-rata minimal kanak-kanak mula dapat belajar di sebuah Taman Kanak-kanak berkisar 4-5 tahun sedangkan umur rata-rata untuk lulus dari TK berkisar 6-7 tahun. Setelah lulus dari TK, atau pendidikan formal dan pendidikan nonformal lainnya yang sederajat, murid kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi diatasnya yaitu Sekolah Dasar atau yang sederajat.

Di TK, kanak-kanak diberi kesempatan belajar dan kurikulum pembelajaran yang sesuai dengan usia tiap tingkatannya. Siswa diajarkan mengenai hal ihwal berikut ini:
  • Agama
  • Budi bahasa
  • Berhitung
  • Membaca (lebih tepatnya mengenal aksara dan ejaan)
  • Bernyanyi
  • Bersosialisasi dalam lingkungan keluarga dan teman-teman sepermainannya
  • Berbagai macam keterampilan lainnya.
Tujuannya yaitu meningkatkan daya cipta kanak-kanak dan memacunya untuk belajar mengenal bermacam-macam ilmu pengetahuan melalui pendekatan nilai budi bahasa, agama, sosial, emosional, fisik/motorik, kognitif, bahasa, seni, dan kemandirian. Semua dirancang sebagai upaya menumbuhkembangkan daya pikir dan peranan anak kecil dalam kehidupannya. Semua kegiatan belajar ini dikemas dalam model belajar sambil bermain.

Asyiknya Bermain Sains di Taman Kanak-Kanak

Beberapa Taman Kanak-kanak di Indonesia telah memulai setapak langkah berani yang bagus yakni mengajak anak-anak mengenal sains dengan melakukan eksperimen. Langkah ini dapat dipandang setidaknya melalui dua kacamata. Melalui kacamata bisnis, boleh jadi ini sebuah langkah diferensiasi, bagian dari cetak biru strategi memenangkan pasar. Melalui kacamata idealisme, boleh jadi ini merupakan salah satu keluaran dari kegelisahan panjang tentang bagaimana seharusnya anak-anak dibesarkan. Boleh jadi pula, kacamata itu bifokal: bisnis dan idealisme dalam satu “kaca”.

Pertanyaannya dari sudut usia anak-anak adalah, apakah tidak terlalu cepat? Ada sebuah korespondensi elektronik yang pernah saya baca mengenai ini. Jawabannya ialah, tidak ada saat yang terlalu cepat untuk memperkenalkan sains melalui eksperimen. Saya setuju.

Pertanyaan dari sudut manfaat bagi anak-anak adalah, apakah efektif bermain sains di TK? Tergantung. Apabila sesudah eksperimen anak-anak dijejali dengan penjelasan-penjelasan, maka itu tentulah sangat jauh dari efektif.

Ambil contoh eksperimen membesarkan balon dengan mempertemukan cuka dan soda kue di dalam botol yang mulutnya dipasangi balon. Andaikan saja kegiatan eksperimen diakhiri dengan memberikan penjelasan mengapa terjadi begitu, maka menurut pengalaman tidak akan digubris. Anak-anak terlalu sibuk mengamati balon yang semula terkulai tiba-tiba meregang dan membesar. Sudah itu mereka saling sibuk bercerita, “hei, balonku jadi besar”, sementara yang lain menimpali, “balonku juga”, lalu ada yang tak mau kalah, “balonku lebih besar”.

Tertibkanlah mereka untuk duduk di tempat masing-masing, karena akan ada penjelasan tentang “gas”. Mungkin mereka akan bisa ditenangkan sebentar, kemudian gaduh lagi. Pikir mereka, “orang dewasa ini ngomong apa sih?” atau “Ada balon lagi untuk digede-in nggak?”

Jauh lebih inspiratif apabila dibiarkan saja anak-anak itu terus mengamati. Saling berceloteh. “Hei lihat, ada busa di dalam botol”. Sementara yang lain menimpali, “Wuih, botolnya jadi dingin!” Tak perlu dipaksakan hadirnya penjelasan-penjelasan, kecuali apabila ada yang bertanya. Inipun haruslah sederhana. Lantas kalau begitu apa manfaatnya? Bukankah nilai sainsnya terletak pada jawaban dari pertanyaan “mengapa terjadi seperti itu?”

Benar demikian, tetapi biarlah penjelasan itu nanti saja saat mereka sudah bertambah usia. Tanpa itu pun sesungguhnya mereka sudah belajar banyak. Di antaranya mereka sudah melakukan pengamatan atau observasi (balon yang terkulai menjadi besar, botol menjadi dingin dan muncul gelembung udara), dan juga membandingkan (balonku lebih besar). Mereka belajar bahwa ada cara lain untuk membesarkan balon selain meniup dengan mulut atau pompa, bahwa ada dua bahan “hebat” yang apabila dicampur bisa membuat balon jadi besar. Mereka juga mengamati, bahwa sesuatu yang tadinya tidak ada menjadi ada.

Di rumah, biasanya mereka bercerita kepada ayah dan ibu. Dengan tutur yang barangkali masih melompat-lompat, mereka berupaya menceritakan kembali langkah eksperimen dengan urut. Dalam bentuk yang sederhana, mereka belajar presentasi. Biasanya pula mereka akan terinspirasi untuk mengulangi lagi percobaan serupa itu, kali ini dengan bahan-bahan yang lain.

Bagaimana kalau gula dan garam yang dicampur, apa bisa balon membesar? Mungkin bisa. Coba tambahkan sabun, lalu tepung, lalu bahan lain sehingga akhirnya menjadi adonan yang tidak karuan. Balon tetap saja tidak besar. Mereka lalu berpikir kira-kira seperti ini, “o, kalau begitu aku perlu dua bahan yang tadi dipakai di sekolah. Tapi meskipun nggak berhasil membesarkan balon, aku berhasil membuat campuran yang seru. Asyik juga.” Jelaslah terlihat proses kreatif berlangsung di sini. Jelas pula terlihat serangkaian disiplin sains, seperti mendefinisikan masalah (apakah gula dan garam bisa membesarkan balon?) membuat hipotesis (mungkin bisa), melakukan percobaan (kegiatan campur mencampur), dan menyimpulkan (ternyata balon tidak membesar dan eksperimen tidak harus selalu berhasil).

Ada lagi manfaat yang amat penting. Memberikan kesempatan bereksperimen kepada anak-anak berarti mendorong mereka untuk berani mencoba. Suatu sifat mental yang kini amat berharga dan langka di dunia orang dewasa. Banyak sungguh orang dewasa yang terpenjara oleh ketakutan dan kecemasan yang diciptakan oleh pikiran sendiri. Amat sering kita jumpai orang-orang yang tak berani mengambil resiko, memilih diam, menghamba kepada kemapanan. Jikalau kesempatan untuk berani mencoba terus menerus diberikan kepada anak-anak, maka sangat mungkin kelak mereka tumbuh menjadi manusia penempuh resiko, sang pembuka jalan, sang pencatat sejarah.

Selain itu melakukan eksperimen adalah pintu yang paling asyik untuk memasuki dunia sains. Kalau dilakukan di masa kanak-kanak, maka ia berpotensi besar untuk menjadi memori masa kecil yang menyenangkan. Saat bertambah usia dan tiba waktunya mereka mendalami sains dengan disiplin yang lebih “serius”, maka memori masa kanak-kanak itu akan bermetamorfosis menjadi sebentuk persepsi, bahwa sains itu menyenangkan!
Tatkala sains menjadi menyenangkan, maka energi yang besar akan bersemayam di dalam diri anak-anak. Ketakutan dan kecemasan bahwa sains itu menyeramkan dapat dipastikan akan terkubur dalam-dalam. Kalaulah itu terjadi, sungguh berbahagialah bangsa ini. Mimpi untuk menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa dunia dalam hal sains dan teknologi bukan lagi bagai pungguk merindukan bulan


Pendidik Pra Taman Kanak-Kanak

Dalam bahasa Inggris ‘babysitter’ berarti seorang yang mengasuh/bertanggung jawab sementara terhadap anak sewaktu orang tuanya tidak berada ditempat. Sedangkan seorang preschool teacher adalah seorang pendidik yang terus menerus mengamati perkembangan psikis dan motorik anak. Perkembangan motorik mencakup berlari atau melompat.

Sementara psikis meliputi kemampuan keterampilan seperti memotong, menggambar, dan menulis. Di dalamnya juga termasuk intelektualitas dan socio-emotional anak tersebut
Pengamatan terhadap anak dicatat dan dievaluasi. Setiap tiga bulan si pendidik melakukan temu wicara dengan orang tua si anak untuk membahas berbagai masalah.

Dengan demikian orang tua dan pendidik sepakat akan pertumbuhan anak tersebut sesuai dengan umurnya. Apabila terdapat kelainan dalam perkembangan anak itu, pendidik akan menganjurkan orangtua untuk berkonsultasi dengan seorang ahli.

Pendidik harus sudah menyelesaikan di perguruan tinggi pelajaran-pelajaran berikut:
  1. Ilmu Perkembangan Anak yang mencakup perkembangan fisik, intelektual dan sosio-emotional anak dari konsepsi sampai anak berumur delapan tahun.
  2. Kurikulum yang berbasis tentang lingkungan dan kegiatan anak. Lingkungan adalah tempat dimana anak bermain, berfantasi, bergurau, bertanya, bereksplorasi dan belajar. Lingkungan harus bersih, nyaman, aman dan khusus untuk anak. Lingkungan harus memiliki perabotan dan alat yang mudah dipakai dan dicapai oleh anak tanpa pertolongan orang dewasa. Isi kegiatan anak harus direncanakan dan harus cocok dengan umur dan perkembangannya. Dengan demikian bagi si anak, ia akan mudah menerima instruksi dan berkembang.
  3. Hubungan Keluarga, kondisi keluarga dapat menjadi gambaran kebiasaan anak. Kebiasaan keluarga berbeda-beda, apalagi di masyarakat majemuk seperti sekarang. Pendidik harus paham situasi ini supaya tidak ada ‘bias’. Tanyalah keluarga tentang kebiasaan anak setiap hari. Anak akan merasa nyaman dikelasnya apabila dia sudah terbiasa dengan lingkungan itu. Contoh, seorang anak India berusia tiga tahun menangis terus menerus ketika ibunya meninggalkannya di kelas. Begitu sang guru memutar lagu-lagu India, anak itu berhenti menangis dan mulai menyelidiki lingkunganya.
  4. Ilmu komunikasi, ilmu ini mengajarkan pendidik untuk memilih kata dan kalimat yang dapat dipahami anak. Setelah mendapat kepercayaan anak, pendidik memupuk hubungan baik dengan anak itu dengan komunikasi yang positif. Komunikasi positif memakai kata kata yang mendorong seperti, “Peganglah tangan temanmu baik baik”. Bukan “Jangan sorong menyorong”. Dalam memberi perintah, Sebaiknya kata ’Jangan’ tidak dipakai. Pilihlah kalimat singkat dengan kata yang sederhana. Karena anak berumur tiga sampai dengan lima tahun memahami hanya apa yang dilihat dan didengar, maka yang dibicarakan bukanlah hal hal yang abstrak dan berbelit-belit. Anak juga senang dengan kalimat dengan kata kata yang bersamaan bunyi atau kata-kata yang diulang. Seperti nyanyian ini: Kamu bernyanyi; aku bernyanyi; kita bernyanyi bersama. Aku bersiul;kamu bersiul;kita bersiul bersama. Sedangkan apabila seorang anak karena sesuatu hal tidak mau mendengarkan kata apapun, maka pendidik harus menempatkan anak tersebut ke sudut yang nyaman, jauh dari temannya agar dia dapat ketenangan. Berilah penjelasan, alasan dan akibat dari perbuatannya. Dengan demikian anak diberi kesempatan untuk berpikir dan memilih. Di usia yang sangat muda janganlah anak dipermalukan. Karena hal ini akan menghilangkan rasa harga dirinya. Setiap kata harus menopang, mendorong dan menghormati.
  5. Pendidik juga harus mendapat latihan CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) dan Pertolongan Pertama. Latihan untuk ini dilakukan dua tahun sekali karena sertifikat berlaku hanya untuk waktu tersebut.
    Anak-anak berumur dua setengah sampai dengan lima tahun dimasukkan ke Prasekolah karena kedua orang tuanya bekerja atau perlu sedikit waktu luang untuk dirinya sendiri. Sekolah ini mempunyai tenaga pendidik yang berdedikasi terhadap perkembang anak. Perbandingan guru anak ialah 1: 6 sehingga kebutuhan setiap anak diketahui. Sekolah menyediakan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan anak. Ada tempat bermain, membaca, menulis, menggambar, berfantasi, memasak, mengeekplorasi dan berkreasi. Dalam melakukan aktivitas ini anak tersebut berhubungan dengan teman seumurnya. Mereka berasosiasi dan belajar menjalin hubungan. Menguasai emosi diri dan memakai strategi yang menghasilkan persahabatan, adalah basis untuk perkembangan kehidupan bermasyarakat anak kelak. Prasekolah adalah jembatan ke Taman Kanak-kanak dan sekolah dasar. Anak Prasekolah sudah dilatih untuk menghadapi hal-hal disekolah berikutnya sehingga persentase anak ini putus sekolah dikemudian hari sangat rendah. Dia senang sekolah dan tidak canggung lagi menghadapi pelajarannya

Asyiknya Bermain di Taman Kanak-Kanak

Beberapa Taman Kanak-kanak di Indonesia telah memulai setapak langkah berani yang bagus yakni mengajak anak-anak mengenal sains dengan melakukan eksperimen. Langkah ini dapat dipandang setidaknya melalui dua kacamata. Melalui kacamata bisnis, boleh jadi ini sebuah langkah diferensiasi, bagian dari cetak biru strategi memenangkan pasar. Melalui kacamata idealisme, boleh jadi ini merupakan salah satu keluaran dari kegelisahan panjang tentang bagaimana seharusnya anak-anak dibesarkan. Boleh jadi pula, kacamata itu bifokal: bisnis dan idealisme dalam satu “kaca”.

Pertanyaannya dari sudut usia anak-anak adalah, apakah tidak terlalu cepat? Ada sebuah korespondensi elektronik yang pernah saya baca mengenai ini. Jawabannya ialah, tidak ada saat yang terlalu cepat untuk memperkenalkan sains melalui eksperimen. Saya setuju.

Pertanyaan dari sudut manfaat bagi anak-anak adalah, apakah efektif bermain sains di TK? Tergantung. Apabila sesudah eksperimen anak-anak dijejali dengan penjelasan-penjelasan, maka itu tentulah sangat jauh dari efektif. Ambil contoh eksperimen membesarkan balon dengan mempertemukan cuka dan soda kue di dalam botol yang mulutnya dipasangi balon.

Andaikan saja kegiatan eksperimen diakhiri dengan memberikan penjelasan mengapa terjadi begitu, maka menurut pengalaman tidak akan digubris. Anak-anak terlalu sibuk mengamati balon yang semula terkulai tiba-tiba meregang dan membesar. Sudah itu mereka saling sibuk bercerita, “hei, balonku jadi besar”, sementara yang lain menimpali, “balonku juga”, lalu ada yang tak mau kalah, “balonku lebih besar”.

Tertibkanlah mereka untuk duduk di tempat masing-masing, karena akan ada penjelasan tentang “gas”. Mungkin mereka akan bisa ditenangkan sebentar, kemudian gaduh lagi. Pikir mereka, “orang dewasa ini ngomong apa sih?” atau “Ada balon lagi untuk digede-in nggak?”
Jauh lebih inspiratif apabila dibiarkan saja anak-anak itu terus mengamati. Saling berceloteh. “Hei lihat, ada busa di dalam botol”. Sementara yang lain menimpali, “Wuih, botolnya jadi dingin!” Tak perlu dipaksakan hadirnya penjelasan-penjelasan, kecuali apabila ada yang bertanya. Inipun haruslah sederhana. Lantas kalau begitu apa manfaatnya? Bukankah nilai sainsnya terletak pada jawaban dari pertanyaan “mengapa terjadi seperti itu?”

Benar demikian, tetapi biarlah penjelasan itu nanti saja saat mereka sudah bertambah usia. Tanpa itu pun sesungguhnya mereka sudah belajar banyak. Di antaranya mereka sudah melakukan pengamatan atau observasi (balon yang terkulai menjadi besar, botol menjadi dingin dan muncul gelembung udara), dan juga membandingkan (balonku lebih besar). Mereka belajar bahwa ada cara lain untuk membesarkan balon selain meniup dengan mulut atau pompa, bahwa ada dua bahan “hebat” yang apabila dicampur bisa membuat balon jadi besar. Mereka juga mengamati, bahwa sesuatu yang tadinya tidak ada menjadi ada.

Di rumah, biasanya mereka bercerita kepada ayah dan ibu. Dengan tutur yang barangkali masih melompat-lompat, mereka berupaya menceritakan kembali langkah eksperimen dengan urut. Dalam bentuk yang sederhana, mereka belajar presentasi. Biasanya pula mereka akan terinspirasi untuk mengulangi lagi percobaan serupa itu, kali ini dengan bahan-bahan yang lain.

Bagaimana kalau gula dan garam yang dicampur, apa bisa balon membesar? Mungkin bisa. Coba tambahkan sabun, lalu tepung, lalu bahan lain sehingga akhirnya menjadi adonan yang tidak karuan. Balon tetap saja tidak besar. Mereka lalu berpikir kira-kira seperti ini, “o, kalau begitu aku perlu dua bahan yang tadi dipakai di sekolah. Tapi meskipun nggak berhasil membesarkan balon, aku berhasil membuat campuran yang seru. Asyik juga.” Jelaslah terlihat proses kreatif berlangsung di sini. Jelas pula terlihat serangkaian disiplin sains, seperti mendefinisikan masalah (apakah gula dan garam bisa membesarkan balon?) membuat hipotesis (mungkin bisa), melakukan percobaan (kegiatan campur mencampur), dan menyimpulkan (ternyata balon tidak membesar dan eksperimen tidak harus selalu berhasil).

Ada lagi manfaat yang amat penting. Memberikan kesempatan bereksperimen kepada anak-anak berarti mendorong mereka untuk berani mencoba. Suatu sifat mental yang kini amat berharga dan langka di dunia orang dewasa. Banyak sungguh orang dewasa yang terpenjara oleh ketakutan dan kecemasan yang diciptakan oleh pikiran sendiri. Amat sering kita jumpai orang-orang yang tak berani mengambil resiko, memilih diam, menghamba kepada kemapanan. Jikalau kesempatan untuk berani mencoba terus menerus diberikan kepada anak-anak, maka sangat mungkin kelak mereka tumbuh menjadi manusia penempuh resiko, sang pembuka jalan, sang pencatat sejarah.

Selain itu melakukan eksperimen adalah pintu yang paling asyik untuk memasuki dunia sains. Kalau dilakukan di masa kanak-kanak, maka ia berpotensi besar untuk menjadi memori masa kecil yang menyenangkan. Saat bertambah usia dan tiba waktunya mereka mendalami sains dengan disiplin yang lebih “serius”, maka memori masa kanak-kanak itu akan bermetamorfosis menjadi sebentuk persepsi, bahwa sains itu menyenangkan!

Tatkala sains menjadi menyenangkan, maka energi yang besar akan bersemayam di dalam diri anak-anak. Ketakutan dan kecemasan bahwa sains itu menyeramkan dapat dipastikan akan terkubur dalam-dalam. Kalaulah itu terjadi, sungguh berbahagialah bangsa ini. Mimpi untuk menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa dunia dalam hal sains dan teknologi bukan lagi bagai pungguk merindukan bulan.